Jum’at, 16 Oktober 2020
Nama : Gusti Ahmad Hidayat
NIM : 193020702031
Jurusan : Ilmu Administrasi Negara, Kelas C
Dosen Pengampu : Dr. R. Sally Marisa
Sihombing, S.IP., M.Si
Pertanyaan :
- Apa perbedaan ilmu yang bebas nilai dan ilmu yang tidak bebas nilai?
- Apakah manusia yang tidak mendapat Pendidikan Tinggi dapat disebut sebagai manusia yang berilmu?
Jawab :
1. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ilmu tidak dapat dilepaskan dari peradaban manusia ini. Manusia sangat mengandalkan ilmu pengetahuan (sains). Ilmu pengetahuan (sains) berperan banyak dalam perkembangan peradaban manusia hampir di segala bidangnya. Berkat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, kebutuhan manusia dapat terpenuhi dengan mudah dan cepat. Perkembangannya pun di berbagai aspek seperti pengetahuan di bidang kesehatan, transportasi, komunikasi, permukiman, dan pendidikan mempermudah kehidupan manusia.
Bagi manusia modern kapitalistik, ilmu pengetahuan (sains) dimanfaatkan secara objektif apa adanya, dengan tanpa mempertimbangkan landasan filsafat ilmu ontologis, aksiologis, dan etis serta mengabaikan nilai-nilai moralitas. Mereka memanfaatkan ilmu pengetahuan (sains) menurut keinginan yang berpaham kapitalistik, seolah-olah sains itu bebas nilai, dalam artian bebas dipergunakan untuk segala keperluan yang dapat memuaskan keinginan mereka. Padahal nilai-nilai ilmiah seharusnya dimanfaatkan secara universal bagi siapapun.
Dalam dunia ilmiah, terdapat ilmu yang bebas nilai dan tidak bebas nilai. Dalam hal ini, masalah apakah ilmu itu terikat atau bebas dari nilai-nilai tertentu, semua itu tergantung kepada langkah-langkah keilmuan yang bersangkutan dan bukan kepada proses keilmuan secara keseluruhan. Dalam realitas manusia terdiri dari dua golongan yaitu golongan pertama, golongan yang mengatakan bahwa ilmu itu bebas mutlak berdiri sendiri dan golongan kedua berpendapat bahwa ilmu itu tidak bebas nilai (Bahrum, 2013).
1) Ilmu Bebas Nilai
Ilmu yang bebas nilai artinya adalah ilmu yang netral nilai-nilainya baik secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Ilmu ini berkembang bebas dari apapun termasuk moral(agama) dan keilmuwan itu sendiri, sifatnya mutlak karena berdasarkan pada realitas tanpa terikat oleh nilai-nilai yang ada. Masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat destruktif para ilmuan terbagi dalam dua pendapat. Golongan pertama menginginkan ilmu netral dari nilai-nilai baik secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis.
2) Ilmu Tidak Bebas Nilai
Kebalikan dari sebelumnya, ilmu tidak bebas nilai artinya adalah ilmu yang tidak bebas, kaku karena terikat oleh nilai-nilai sehingga harus menjalankan aturan tertentu. Secara filsafat ilmu, ilmu tidak bebas nilai artinya adalah ilmu yang dibangun dengan berdasarkan pada 3 (tiga) landasan yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi
Einstein pada akhir hayatnya tak dapat menemukan agama mana yang sanggup menyembuhkan ilmu dari kelumpuhannya dan begitu pula moral universal manakah yang dapat mengendalikan ilmu, namun Einstein ketika sampai pada puncak pemikirannya dan penelaahannya terhadap alam semesta ia berkesimpulan bahwa keutuhan ilmu merupakan integrasi rasionalisme, empirisme dan mistis intuitif.
Menghadapi fakta seperti ini ilmu pada hakekatnya mempelajari alam dengan mempertanyakan yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu dipergunakan, dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan dan ke arah mana perkembangan keilmuan ini diarahkan. Pertanyaan ini jelas bukan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuan seangkatannya, namun ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah dua kali mengalami perang dunia dan bayangan perang dunia ketiga. Pertanyaan ini tidak dapat dielakkan dan untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmu berpaling kepada hakekat moral. (Bahrum, 2013).
Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa, ilmu yang dibangun atas dasar ontologi, epistemologi dan aksiologi haruslah berlandaskan etika sehingga ilmu itu tidak bebas nilai.
2. Ilmu adalah adalah hal sistematis yang membangun dan mengatur pengetahuan dalam bentuk penjelasan serta prediksi yang dapat diuji melalui metode ilmiah tentang alam semesta (Mirriam Webster dictionary, 2018). Ilmu terdiri dari dua hal, yaitu bagian utama dari pengetahuan, dan proses di mana pengetahuan itu dihasilkan. Proses pengetahuan memberikan individu cara berpikir dan mengetahui dunia. Dalam klasifikasi ilmu Necessery Knowledge dan sifat kebenaran mutlak yang menunjukkan bahwa ilmu itu mutlak karena sumber kebenarannya berasal dari Tuhan kemudian turun ke nabi melalui wahyu kemudian diteruskan ke manusia lainnya kemudian melalaui berbagai proses pemikiran, pengamatan, pengalaman, pengamatan dan pengujian hingga menjadi sebuah ilmu pengetahuan.
Pendidikan tinggi merupakan tumpuan akhir seluruh jenjang pendidikan dan sebagai wahana pembentukan sarjana yang memiliki budi pekerti luhur, melangsungkan nilai-nilai kebudayaan, memajukan kehidupan dan membentuk satria pinandita (Harsono, 2008: 22).
Berdasarkan pengertian di atas, fungsi pendidikan tinggi tidak lain adalah membentuk sarjana yang unggul dan memiliki potensi dan kompeten. Karena hal inilah, yang membuat kita mempunyai persepsi bahwa setiap sarjana perguruan tinggi pasti berilmu. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, karena apabila kriteria-kriteria tersebut terpenuhi maka dapatlah kita katakan bahwa orang ini adalah orang yang berilmu. Namun, kenyataannya banyak lulusan sarjana yang ‘tidak berilmu’, karena selama berkuliah ia tidak sepenuhnya mendedikasikan dirinya untuk menuntut ilmu, sehingga gelar sarjananya hanya merupakan sebutan saja, tidak ada artinya.
Sebaliknya, banyak ilmuwan hebat dengan nama besar yang tidak bersekolah atau pun bergelar pendidikan. Sebut saja Albert Einstein, Thomas Alva Edison, Benjamin Franklin, dan lain-lain. Teori-teori ilmuwan ini sering digunakan oleh para akademisi. Bagaimana bisa mereka mencetuskan teori-teori tersebut, padahal mereka sendiri tidak menempuh pendidikan formal? Jawabannya adalah karena pada dasarnya ilmu itu bebas, berasal dari Tuhan, diberikan kepada manusia tanpa kecuali. Ilmu-ilmu tersebut didapatkan melalui kegigihan, rasa penasaran, pengalaman, kegagalan, yang dialami mereka. Ilmu tidak hanya dapat diperoleh melalui pendidikan formal, ilmu dapat diperoleh dari manapun.
Jadi, kesimpulannya adalah manusia yang tidak mendapatkan Pendidikan Tinggi juga dapat bisa menjadi seorang manusia berilmu, apabila tingkat keilmuwan yang diperolehnya sudah banyak atau dapat dikatakan pandai. Ada yang sarjana tapi tidak berilmu,ada juga yang berilmu tapi tidak sarjana.
Kepustakaan
Malicha, Livianinda Nur. (2018). Hakikat Ilmu
dan Pengetahuan.
Zaini Muhammad. Vol 19, No 1 (2017). Kontrol
Nilai Terhadap Sains
Bahrum. Vol 8 Nomor 2 Tahun 2013. Ontologi, Epistemologi
Dan Aksiologi
Mantapp!!
ReplyDeleteiyaa ntapp
Delete